Rabu, 30 Mei 2012

Mari Meneliti dan Menerbitkan Buku

Mari Meneliti dan Menerbitkan Buku

Sejarah bangsa-bangsa di dunia tidak lepas dari ekspansi kekuasaan. Dan ketika masyarakat dunia mulai mengecam penjajahan terhadap bangsa lain, bermunculanlah kelompok-kelompok penjajah tanah airnya sendiri.

Apakah islam, sebagai sebuah agama dan kebudayaan terbesar di dunia, telah dijadikan komoditas oleh sebuah bangsa atau kelompok dalam upaya menguasai suatu bangsa, sepanjang sejarah perkembangan islam, sepeninggal Rasulullah?

Pertanyaan ini sangat menggelitik saya. Mengingat banyaknya kelompok-kelompok dalam umat islam yang menyuarakan bahwa kelompok merekalah yang paling benar. Bukan tidak mungkin, telah terjadi penyitiran hadits-hadits yang dipaksakan untuk dilaksanakan serta beberapa hadits yang sengaja disembunyikan dalam rangka menekan kekritisan masyarakat demi melanggengkan sebuah kekuasaan.

Sebagai contoh. Saya pernah diberi analogi oleh seorang ulama begini, "Sunah itu adalah perbuatan dan ucapan Rasulullah. Dan mengikuti sunah itu adalah wajib bagi seorang muslim sebagaimana yang ditegaskan Allah dalam Al-qur'an agar kita menta'ati Rasulullah. Karena itu, sangatlah berdosa bila kita tidak berpakaian, berjalan, makan dan minum bahkan berdakwah seperti cara yang diajarkan beliau. Dan orang yang tidak mengikuti sunah adalah sesat."

Apakah ujaran dari ulama di atas sebagai salah satu bentuk politisasi agama? Ataukah murni menegakkan syari'at? Benarkah berislam hanya sebatas mengerjakan apa yang Rasulullah kerjakan semata? Ataukah islam sangat terbuka dengan segala macam perkembangan meski belum pernah dialami Rasulullah sebagaimana keyakinan kelompok islam yang lain? Bila telah terjadi politisasi agama, untuk siapakah?

Mari kita surutkan ingatan pada peristiwa yang belum lama terjadi di tanah air. Ketika terjadi perseteruan antara kaum syiah dan sunni, yang sampai berujung pada bentrokan. Peristiwa yang terjadi bersamaan dengan memanasnya hubungan Amerika-Israil dengan Iran. Dan pada saat bersamaan Iran sedang gencar mempropagandakan kemajuan pesat teknologi militer yang mereka punya. Siapa yang diuntungkan? Amerika-Israil? Kenapa kita tidak mencoba mengkritisi keberadaan Arab Saudi yang berbeda paham keagamaan dengan Iran?

Tulisan ini saya tuangkan dalam rangka mengajak para penulis yang peduli dengan perkembangan umat islam, khususnya di Indonesia untuk sama-sama melakukan kajian kritis demi mendapatkan sebuah rumusan pemikiran tentang bagaimana cara berislam yang bersih dari politisasi agama untuk menghindari perpecahan umat.

Kirimkan hasil kajian anda dalam bentuk esai (jumlah halaman bebas) ke email iben.nuriska@yahoo.com (attachment file).

Naskah yang masuk akan diseleksi dan Insya Allah akan diterbitkan dalam bentuk buku.

Setiap penulis boleh mengirimkan lebih dari satu naskah dan hanya dipilih satu naskah terbaik.

Setiap penulis berhak atas royalti penjualan.

Naskah diterima paling lambat 31 Oktober 2012 jam 23.59 WIB.

Senin, 28 Mei 2012

Aku dan Derita, Suatu Hari…


Aku dan Derita, Suatu Hari…

Diulurnya tangan seperti biasa. Ini kali ke entah ia lakukan. Dan kali pertama aku menyambutnya. Kami berjabat tangan. "Derita," senyumnya cerah.

Kami mulai bercerita. Tentang apa saja. Terasa sangat akrab. Seperti dua karib, galib. Bersama-sama kemana-mana.

Lelah cerita kami pun bernyanyi. Seirama angin dan burung berkicau. Desir ombak di raga pasir.

Kami berlari. Memecah buih. Mengejar ombak pulang ke ibu laut. "Kejarlah sejauh kau sampai," jeritnya. "Lenyapkan segala nyeri yang mengantarmu kemari."

"Lihat di sana," tunjuknya pada seseorang di punggung karang. Kedua kakinya menekuk. Dadanya merapat paha. Dagu menindih lutut. Dan tangan melingkar di tengkuk. "Dia temanku. Orang-orang menyangka aku musuhnya. Namanya Bahagia."

"Lihatlah," tunjuknya sekali lagi. "Begitu sepi kala sendiri."

rumahkata, 280512

Jumat, 25 Mei 2012

Menantu Ayah


Menantu Ayah

Sambil berbaring aku menatap langit-langit kamar. Dan seketika, waktu menyusut. Meski telah bertahun-tahun berlalu, aku merasa beberapa peristiwa yang pernah kualami bersama ayahku baru saja terjadi.
         
Peristiwa pertama, tentang langit-langit kamarku yang biasa kusebut loteng. Papan triplek yang dipotong persegi dengan panjang 1m dan lebar 50cm. Proses pelotengan inilah untuk pertama kalinya kedua tanganku mengakrabi alat-alat pertukangan. Ayahku memintaku menggergaji berhelai-helai papan triplek menuruti garis yang diteranya. Dengan senang hati aku mengerjakannya.

Aku merasa peristiwa itu baru saja terjadi. Begitu mudahnya waktu menyusut sekehendak perasaan. Masih terdengar jelas paduan irama seretan gergaji pada papan triplek itu beriringan ketok palu ayahku memaku potongan-potongan triplek gergajianku. Dan paku-paku yang begitu kuat menancap di ambang loteng itu masih terlihat jelas. Sedang ayahku, yang memakukannya, yang pada saat itu mengajariku agar mencintai pekerjaan, tak lagi dapat kulihat.

Rasanya baru kemarin. Apakah semudah itu panjang-pendek waktu ditentukan? Semudah merasakan kenangan? Tapi sungguh, rasanya baru kemarin. Peristiwa kedua yang membuatku tersipu di depan teman-temanku. Ketika ayahku dengan tergopoh-gopoh keluar dari kamar kosku di jogja. Dia mendengar teman kuliahku mengganti namaku dengan sebutan sayang. "Mana menantuku?" seru ayahku sambil berlari. "Mana menantuku," tanya ayahku pada kelima temanku begitu ia tiba di tengah-tengah kami sambil terengah-engah. Dan mukaku bersemu merah, karena dia yang memanggilku sayang tak lebih dari teman biasa.

Dan rasanya juga baru kemarin. Peristiwa ketiga, peristiwa yang masih sangat jelas kulihat, ketika tiba-tiba, di malam itu, ayahku mendadak sesak nafas dan memintaku mengurut punggungnya. Rasanya baru kemarin, tubuh ayahku tiba-tiba membeku dan aku membaringkannya. Dan saat aku bersama keluarga dan kerabat mengantarnya ke pemakaman, belum ada menantunya yang mendampingiku.

Di loteng itu, kini, aku melihat kedua tangan ayahku sedang menantikan tangis bayi yang dilahirkan oleh menantunya yang, hingga saat ini, ketika waktu tidak memanjang dan menyusut, belum kutemukan.

rumahkata batubelah, 230512 

Menjaga Alir Mataair


Menjaga Alir Mataair

gelas yang telah kau sediakan tak kunjung kuisi
bukan salahmu bila kau pergi menuju kendi
yang tahu diri menuang keyakinan
hilangkan dahaga yang selama ini kau sandang sepanjang jalan

namun, sebelum kau lakukan
ada yang kuminta kau paham
bila masih tersisa pengertian
sebelum gelas itu kau ambil kembali

; pernah di suatu ketika
telah kukeringkan air dari kedalaman telaga yang kupunya
mengisi bejana yang rela menjadi piala
untukku meneguk segala rasa dari keindahan dunia
namun, bila telagaku mengering, tumpahlah
air yang kutuang ke dalam bejana itu
aku pun mengerang dan patah

bersebab itulah, mataair
yang mulai mengalir
di kedalamanku, kini, begitu kujaga
agar tak jadi airmata

rumahkata batubelah, 220512